Jumat, 24 Maret 2017

Seminar ACLS for Nurse PERTAMA di INDONESIA

Henti Jantung (Cardiac arrest) tidak bisa lepas dari penyakit jantung dan pembuluh darah, karena penyebab tersering dari cardiac arrest adalah penyakit jantung koroner. Setiap tahun terdapat kurang lebih 295.000 kasus cardiac arrest yang ditangani baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit di Amerika Serikat (American Heart Asociation, 2012). WHO (2008) menerangkan bahwa penyakit jantung, bersama-sama dengan penyakit infeksi dan kanker masih tetap mendominasi peringkat teratas penyebab utama kematian di dunia. Serangan jantung dan problem seputarnya masih menjadi pembunuh nomor satu dengan raihan 29 persen kematian global setiap tahun.

Di Indonesia data yang dikeluarkan oleh Badan  Litbang Kemenkes tahun 2013, bahwa yang di diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang.

Cardiac arrest adalah berhentinya fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung. Waktu dan kejadiannya tidak terduga, yakni segera setelah timbul keluhan (American Heart Association, 2010). Kematian otak dan kematian permanen terjadi dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit setelah seseorang mengalami cardiac arrest.   Cardiac arrest dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan melakukan CardioPulmonary Resusitation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung normal. Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7 sampai 10 persen pada tiap menit yang berjalan tanpa CPR dan defibrilasi (American Heart Assosiacion, 2015). Berdasarkan hasil penelitian dari American Heart Association didapatkan data bahwa 64% pasien dengan cardiac arrest yang mendapatkan penanganan segera dapat bertahan hidup tanpa kerusakan otak. Upaya penanganan henti jantung baik diluar maupun didalam rumah sakit  dengan CPR/RJP dan alat defibrillator otomatis dikenal dengan Basic Life Support (BLS) / Bantuan Hidup Dasar (BHD).

Namun pada kenyataannya BLS saja tidak cukup untuk melakukan penanganan kegawatdaruratan kardiovascular (Cardiovascular Emergency) perlu penanganan lanjut untuk mencegah terjadinya henti jantung berulang dan atau mencegah pasien yang jantungnya masih berdenyut jatuh pada kondisi henti jantung. Kondisi pasien henti jantung sebenarnya adalah kejadian akibat keterlambatan/kegagalan penanganan pada masalahnya.

Upaya menangani kegawatdaruratan kardiovaskuler dan atau mencegah/menangani henti jantung pada tahap lanjut dikenal dengan Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS). Pada ACLS ini penolong harus melakukan pengkajian lebih cermat dengan mempertimbangkan kondisi klinis pasien, rekaman EKG, tanda vital, kemungkinan penyebab sampai dengan pemberian obat dan kejut listrik baik kardioversi maupun defibrilasi.

ACLS merupakan penanganan kegawatdaruratan kardiovaskuler yang dikerjakan secara tim yang terdiri dari dokter dan perawat. Masing-masing memegang peran, tugas dan tanggungjawab masing-masing dan bekerja secara simultan dengan satu komando (Team Leader). Masing-masing anggota tim harus menguasai standar-standar sesuai dengan kasus yang dihadapi dalam kerjasama yang dinamis. Dirumah sakit Tim ACLS biasanya terdiri dari 1 orang dokter dan 2-5 orang perawat terlatih.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas kami memandang perlu untuk menyelenggarakan seminar dan workshop ACLS bagi perawat, terutama perawat yang bekerja dirumah sakit. Bisa dibayangkan jika hanya dokter saja yang menguasai ACLS dan perawatnya tidak menguasai, maka tim penanganan kegawatdaruratan kardiovaskuler akan bekerja tidak optimal atau bahkan mungkin akan mengalami kegagalan. Acara ini juga merupakan kegiatan Launching Pelatihan ACLS for Nurse yang akan diselenggarakan oleh Pro Emergency secara Nasional

Red. Pro Smart

Postingan Populer