Henti Jantung (Cardiac arrest) tidak bisa lepas dari penyakit jantung dan pembuluh darah, karena penyebab tersering dari cardiac arrest adalah penyakit jantung koroner. Setiap tahun
terdapat kurang lebih 295.000 kasus cardiac
arrest yang ditangani
baik di rumah sakit
maupun di luar rumah sakit di Amerika Serikat (American Heart Asociation, 2012). WHO (2008) menerangkan bahwa penyakit jantung, bersama-sama dengan penyakit infeksi dan
kanker masih tetap mendominasi peringkat teratas penyebab utama kematian di dunia. Serangan jantung dan problem seputarnya masih menjadi pembunuh nomor satu
dengan raihan 29 persen kematian global setiap tahun.
Di
Indonesia data yang dikeluarkan oleh Badan
Litbang Kemenkes tahun 2013, bahwa yang di diagnosis dokter, prevalensi
penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan
sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar
1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang.
Cardiac arrest adalah berhentinya fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung.
Waktu dan kejadiannya tidak terduga, yakni segera setelah timbul keluhan (American
Heart Association,
2010). Kematian otak dan kematian permanen terjadi dalam jangka
waktu 8 sampai 10 menit setelah seseorang mengalami
cardiac arrest.
Cardiac arrest dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan melakukan CardioPulmonary Resusitation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung normal. Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7 sampai 10 persen pada tiap menit
yang berjalan tanpa
CPR dan defibrilasi (American Heart Assosiacion, 2015). Berdasarkan hasil penelitian dari American Heart Association
didapatkan data bahwa 64%
pasien dengan cardiac arrest
yang mendapatkan penanganan segera dapat bertahan
hidup tanpa kerusakan otak.
Upaya penanganan henti jantung baik diluar maupun didalam rumah sakit dengan CPR/RJP dan alat defibrillator
otomatis dikenal dengan Basic Life
Support (BLS) / Bantuan Hidup Dasar (BHD).
Namun pada kenyataannya BLS saja tidak cukup untuk melakukan
penanganan kegawatdaruratan kardiovascular (Cardiovascular
Emergency) perlu penanganan lanjut untuk mencegah terjadinya henti jantung
berulang dan atau mencegah pasien yang jantungnya masih berdenyut jatuh pada
kondisi henti jantung. Kondisi pasien henti jantung sebenarnya adalah kejadian
akibat keterlambatan/kegagalan penanganan pada masalahnya.
Upaya menangani kegawatdaruratan kardiovaskuler dan atau
mencegah/menangani henti jantung pada tahap lanjut dikenal dengan Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS).
Pada ACLS ini penolong harus melakukan pengkajian lebih cermat dengan
mempertimbangkan kondisi klinis pasien, rekaman EKG, tanda vital, kemungkinan
penyebab sampai dengan pemberian obat dan kejut listrik baik kardioversi maupun
defibrilasi.
ACLS merupakan penanganan kegawatdaruratan kardiovaskuler yang
dikerjakan secara tim yang terdiri dari dokter dan perawat. Masing-masing
memegang peran, tugas dan tanggungjawab masing-masing dan bekerja secara
simultan dengan satu komando (Team
Leader). Masing-masing anggota tim harus menguasai standar-standar sesuai
dengan kasus yang dihadapi dalam kerjasama yang dinamis. Dirumah sakit Tim ACLS
biasanya terdiri dari 1 orang dokter dan 2-5 orang perawat terlatih.
Sehubungan dengan hal
tersebut diatas kami memandang perlu untuk menyelenggarakan seminar dan
workshop ACLS bagi perawat, terutama perawat yang bekerja dirumah sakit. Bisa
dibayangkan jika hanya dokter saja yang menguasai ACLS dan perawatnya tidak
menguasai, maka tim penanganan kegawatdaruratan kardiovaskuler akan bekerja
tidak optimal atau bahkan mungkin akan mengalami kegagalan. Acara ini juga
merupakan kegiatan Launching
Pelatihan ACLS for Nurse yang akan diselenggarakan oleh Pro Emergency secara
Nasional
Red. Pro Smart